Assalamu'alaikum wr.wb. Selamat Datang di Blog Geografi Agus Maulana. Silahkan share artikel blog ini. Cantumkan URL jika dijadikan referensi. Isi blog ini tidak bisa di copy paste kecuali menggunakan smartphone. Pahami dan tulis kembali. Selamat belajar, sukses untuk kita semua. Eitts, jangan lupa tinggalkan comment baik berupa kritikan maupun saran yang membangun. :)

Minggu, 22 Desember 2013

Syariat Islam di Aceh

Penerapan Syariat Islam di Aceh

A. Definisi Syariat Islam Versi Qanun Aceh

Sebagaimana uraian terdahulu, syariat Islam dalam pandangan qanun NAD merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan (pasal 1 ayat 6 Perda Nomor 5 Tahun 2000, Pasal 11 Tahun 2002).

Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana dimaksudkan dalam beberapa peraturan di Aceh tersebut mengandung makna, bahwa seluruh bidang syariat Islam yang sangat luas cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun. Ini berarti, pemerintah Aceh akan ikut mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarisyah yang berpendapat bahwa kekuasaan (baca: penguasa) dalam Islam itu harus mengurus seluruh aspek ajaran Islam. Upaya taqnin di Aceh tersebut didasarkan atas filosofi bahwa pelaksanaan syariat akan ditaati masyarakat manakala ditegakkan dengan sanksi. Sanksi ini ada dua: sanksi ukhrawi yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi duniawi yang akan diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di sini penegakan hukum menuntut peranan negara. hukum tidak berarti apa-apa bila tidak ditegakkan oleh negara.
Syariat Islam sebagia institusi yang hidup memang meliputi setiap aspek kehidupan manusia; keimanan, ritual, dan etika. Karena sifat alamiahnya yang beraneka ragam itulah, negara tidak dengan mudah dapat mengintervensi atau mengaturnya. Hal ini disebabkan hubungan antara hukum Islam dengan masyarakat bersifat progresif dan sangat kompleks, sehingga hubungan semacam ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Di Aceh, dinas yang menanggulangi masalah pelaksanaan syariat Islam adalah Dinas Syariat Islam.

B. Beberapa Qanun yang Berhubungan dengan Penerapan Syariat Islam di Aceh

  • Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam
Qanun ini merupakan upaya untuk mengejawantahkan salah satu kekhususan Aceh, yang diatur secara umum dalam pasal 1 ayat 7, pasal 25-26 UU No. 18/2001. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, misalnya kewenangan Mahkamah Syariyyah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, tidak begitu jelas menunjuk kepada kewenangan Mahkamah Syariyyah dalam mengadili masalah ahwal al-syakhsiah, muamalah dan jinayah dalam penjelasan UU dikategorikan jelas, yang barangkali hanya menunjuk kepada kewenangan yang lazim dimiliki pengadilan agama, yakni masalah keperdataan (UU No. 7/1989, Pasal 1 ayat 1-2, yang dijabarkan dalam pasal 49 sebagai perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta wakaf dan sedekah). Hal ini selaras dengan Kepres No. 11/2003, yang mengungkapkan bahwa mahkamah tersebut hanya memiliki kewenangan yang dimiliki sebelumnya oleh pengadilan agama.

Qanun yang disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundangkan pada 6 Januari 2003 ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama memuat tentang ketentuan umum, bab kedua tentang susunan mahkamah, bab ketiga tentang kekuasaan dan kewenangan mahkamah, bab keempat tentang hukum materil dan formil, bab kelima tentang ketentuan-ketentuan lain, bab keenam tentang peralihan, dan bab ketujuh tentang ketentuan peralihan serta tentang ketentuan penutup.
  • Qanun No. 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam disahkan pada 14 Oktober 2002, dan diundangkan pada 6 Januari 2003. Kandungan utama qanun ini berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2002, pelaksanaan syariat Islam dibatasi pada bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam. Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini mendefinisikan syariat Islam dalam pengertian luas: “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” (Pasal 1 ayat 6). Akidah didefinisikan sebagai akidah menurut paham “Ahlussunnah wal Jamaah” (Pasal 1 ayat 7) dan ibadah dibatasi pada shalat dan puasa di bulan Ramadan (pasal 1 ayat 8).

Pengaturan pelaksanaan syariat Islam dalam ketiga bidang tersebut–yakni akidah, ibadah, dan syiar Islam dalam pasal 2, dinyatakan memiliki tujuan:
Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat.
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya
Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.

Sementara dalam pasal 3, fungsinya ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.

Pasal 4-5 menetapkan kewajiban memelihara akidah Islam, larangan menyebarkan paham atau aliran sesat, serta larangan keluar dari akidah Islam (murtad) dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam.

Pasal 6 menyerahkan kewenangan penetapan aliran/ paham sesat kepada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan paham atau aliran sesat dalam qanun ini tidak didefinisikan secara jelas. Dalam penjelasan pasal 2, paham atau aliran sesat didefinisikan sebagai pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan kepada Alquran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atau kedua sumber tersebut.

Masjid Raya Baiturrahman
Kewajiban menjalankan ibadah dalam qanun ini meliputi shalat fardlu, shalat jumat, dan puasa (bab IV). Cakupan ibadah yang disebutkan itu jelas sangat terbatas. Demikian pula, dalam sanksi hukumnya.


Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini juga menetapkan ketentuan tentang busana islami (Pasal 13) dijelaskan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Sementara hukuman untuk yang melanggarnya adalah pidana dengan hukuman tazir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah, tanpa menyinggung bentuk hukumannya. Misalnya penjara atau cambuk.

Wilayatul Hisbah, dalam qanun ini (pasal 1 ayat 11), dinyatakan sebagai badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam. Badan ini dibentuk oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ kota, serta dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah lingkungan lainnya (pasal 14 ayat 1-2).
  • Qanun No. 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun tentang larangan minuman khamar dan sejenisnya ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003. Di dalam qanun ini, yang dimaksudkan dengan khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir (pasal 1 ayat 20).
  • Qanun No. 13/2003 Tentang Maisir (Perjudian)
Qanun tentang maisir (perjudian) ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003. Dalam qanun ini perjudian atau maisir didefinisikan sebagai kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran (pasal 1 ayat 20).
  • Qanun No. 14 / 2003 Tentang Khalwat (Mesum)
Dalam qanun ini, khalwat/ mesum didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan (Pasal 1 ayat 20). Cakupan larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina (pasal 2). Qanun ini disahkan pada 15 Juli 2003 dan diundangkan pada 16 Juli pada tahun yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar