Assalamu'alaikum wr.wb. Selamat Datang di Blog Geografi Agus Maulana. Silahkan share artikel blog ini. Cantumkan URL jika dijadikan referensi. Isi blog ini tidak bisa di copy paste kecuali menggunakan smartphone. Pahami dan tulis kembali. Selamat belajar, sukses untuk kita semua. Eitts, jangan lupa tinggalkan comment baik berupa kritikan maupun saran yang membangun. :)

Jumat, 29 November 2013

Pariwisata Aceh dan Penerapan Syariat Islam

Pariwisata Aceh dan Hubungannya dengan Penerapan Syariat Islam


A. Pariwisata Aceh
Aceh sebagai salah satu provinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang pariwisata. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya dalah letak Aceh yang membentuk letter U terbalik pada ujung pulau sumatera yang dikelilingi oleh laut Hindia dan Selat Malaka. Selain itu, topografi wilayahnya juga sangat mendukung. Hal ini dapat dilihat pada daerah- daerah yang memiliki tingkat ketinggian beragam dan pemanfaatannya beragam pula untuk sektor pertanian, pemukiman, transportasi, dan wisata. Bahkan, terdapat banyak daerah menarik dengan topografi yang sangat mendukung sebagai salah satu daerah wisata yang potensial. Contohnya Tapak Tuan (Aceh Selatan) dengan kedua sisi jalan utamanya diapit oleh pantai dan laut serta sisi lainnya oleh pegunungan yang masih hijau dan asri. Sangat berpotensi karena terkesan eksotis dan memiliki nilai estestika tinggi.


1. Wisata Sejarah
Aceh memiliki sejarah yang sangat panjang dengan berbagai budaya dan bahasa yang sangat beragam pula. Sejarah Aceh yang merupakan salah satu daerah dengan tingkat perkembangan yang sangat maju meninggalkan berbagai bukti tingginya peradaban pada masa lalu di Aceh.

Bukti- bukti atau peninggalan sejarah ini dapat dilihat di seluruh wilayah Aceh. Peninggalan- peninggalan sejarah ini antara lain adalah:


  • Masjid Raya Baiturrahman di Banda aceh.
  • Komplek Taman Sari dan Gunongan. Di dalam kompleks ini dapat ditemui berbagai benda dan bangunan bersejarah peninggalan Sultan- sultan pada masa lalu, seperti Gunongan, panterana batu berukir, kandang baginda, medan khairani, balai, dan pinto khop.
  • Museum, Rumoh Aceh, Lonceng Cakra Donya, Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Sultan Iskandar Muda, dan Pendopo Gubernur. Semua objek ini terdapat di sekitar jalan Sultan Mahmud Syah, Banda Aceh. Koleksi yang terdapat di museum ini salah satunya adalah lonceng Cakra donya yang dibuat pada tahun 1409 dan merupakan hadiah dari Kaisar China kepada Sultan Aceh sebagai tanda persahabatan.
  • Kompleks makam Teungku Syiah Kuala terletak di Desa Deah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
  • Monumen replika RI-001 Seulawah yang merupakan pesawat pertama Republik Indonesi yang dibeli dan diberikan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia dan menjadi salah satu dari sekian bukti bahwa Aceh adalah daerah modal Republik Indonesia dan pemegang saham terbesar pada tubuh NKRI. Monumen ini terletak di kompleks lapangan Blang Padang.
  • Mesjid Indrapuri, teretak di Indrapuri, Aceh Besar.
  • Perpustakaan naskah kuno Tanoh Abee. Terletak di desa Tanoh Abee di kaki Seulawah, Aceh Besar.
  • Mesjid dan makan Teungku Dianjong. Terletak di kawasan Peulanggahan, Banda Aceh.
  • Makam Belanda (Kerkhof). Terletak di jl. Teuku Umar, Blower, di dekat Blang Padang, Banda Aceh.
  • Monumen Teuku Umar di Meulaboh, Aceh Barat.
  • Makam Teuku Umar di Mugo, Aceh Barat.
  • dll
2. Wisata Alam dan Bahari
  • Pantai. Di Banda Aceh terdapat beberapa pantai yang terkenal yaitu pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ulee Lhue, dan Ujong Batee. Di daerah Sabang terdapat pantai Gapang dan Iboih. Di Aceh Barat terdapat pantai Lhok Bubon, Ujong Kareung, dan pantai Seunagan di Nagan Raya.
  • Danau Laut Tawar. Terletak di Takengon, Aceh Tengah.
  • Taman laut. Yang paling terkenal terletak di Iboih, dan di sekitar Pulau Rubiah, Sabang.
3. Atraksi Wisata
Di Aceh terdapat berbagai macam atraksi wisata, antara lain geulayang tunang, gedeu-gedeu (pidie), peupok leumo, pacu guda dan peh kayee.

4. Kesenian dan kuliner
Kesenian yang terkenal di aceh umumnya dalah tari- tarian. Sementara kuliner Aceh umumnya perpaduan antara rasa asam, pedas, manis dan pahit.

B. Penerapan Syariat Islam di Aceh
1. Definisi Syariat Islam Versi Qanun Aceh
Sebagaimana uraian terdahulu, syariat Islam dalam pandangan qanun NAD merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan (pasal 1 ayat 6 Perda Nomor 5 Tahun 2000, Pasal 11 Tahun 2002). 


Definisi syariat Islam dalam makna yang luas sebagaimana dimaksudkan dalam beberapa peraturan di Aceh tersebut mengandung makna, bahwa seluruh bidang syariat Islam yang sangat luas cakupannya akan diatur dalam sebuah qanun. Ini berarti, pemerintah Aceh akan ikut mengurusi seluruh bidang syariat Islam. Langkah semacam ini mirip dengan pemikiran ‘Ali Jarisyah yang berpendapat bahwa kekuasaan (baca: penguasa) dalam Islam itu harus mengurus seluruh aspek ajaran Islam. Upaya taqnin di Aceh tersebut didasarkan atas filosofi bahwa pelaksanaan syariat akan ditaati masyarakat manakala ditegakkan dengan sanksi. Sanksi ini ada dua: sanksi ukhrawi yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi duniawi yang akan diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di sini penegakan hukum menuntut peranan negara. hukum tidak berarti apa-apa bila tidak ditegakkan oleh negara. 


Syariat Islam sebagia institusi yang hidup memang meliputi setiap aspek kehidupan manusia; keimanan, ritual, dan etika. Karena sifat alamiahnya yang beraneka ragam itulah, negara tidak dengan mudah dapat mengintervensi atau mengaturnya. Hal ini disebabkan hubungan antara hukum Islam dengan masyarakat bersifat progresif dan sangat kompleks, sehingga hubungan semacam ini sangat penting untuk dipertimbangkan.
Di Aceh, dinas yang menanggulangi masalah pelaksanaan syariat Islam adalah Dinas Syariat Islam.

2. Beberapa Qanun yang Berhubungan dengan Penerapan Syariat Islam di Aceh

Untuk mengunduh rancangan Qanun tentang kepariwisataan, klik disini.

  • Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam
Qanun ini merupakan upaya untuk mengejawantahkan salah satu kekhususan Aceh, yang diatur secara umum dalam pasal 1 ayat 7, pasal 25-26 UU No. 18/2001. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, misalnya kewenangan Mahkamah Syariyyah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, tidak begitu jelas menunjuk kepada kewenangan Mahkamah Syariyyah dalam mengadili masalah ahwal al-syakhsiah, muamalah dan jinayah dalam penjelasan UU dikategorikan jelas, yang barangkali hanya menunjuk kepada kewenangan yang lazim dimiliki pengadilan agama, yakni masalah keperdataan (UU No. 7/1989, Pasal 1 ayat 1-2, yang dijabarkan dalam pasal 49 sebagai perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta wakaf dan sedekah). Hal ini selaras dengan Kepres No. 11/2003, yang mengungkapkan bahwa mahkamah tersebut hanya memiliki kewenangan yang dimiliki sebelumnya oleh pengadilan agama.

Qanun yang disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundangkan pada 6 Januari 2003 ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama memuat tentang ketentuan umum, bab kedua tentang susunan mahkamah, bab ketiga tentang kekuasaan dan kewenangan mahkamah, bab keempat tentang hukum materil dan formil, bab kelima tentang ketentuan-ketentuan lain, bab keenam tentang peralihan, dan bab ketujuh tentang ketentuan peralihan serta tentang ketentuan penutup.
  • Qanun No. 11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam disahkan pada 14 Oktober 2002, dan diundangkan pada 6 Januari 2003. Kandungan utama qanun ini berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2002, pelaksanaan syariat Islam dibatasi pada bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam. Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini mendefinisikan syariat Islam dalam pengertian luas: “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” (Pasal 1 ayat 6). Akidah didefinisikan sebagai akidah menurut paham “Ahlussunnah wal Jamaah” (Pasal 1 ayat 7) dan ibadah dibatasi pada shalat dan puasa di bulan Ramadan (pasal 1 ayat 8).

Pengaturan pelaksanaan syariat Islam dalam ketiga bidang tersebut–yakni akidah, ibadah, dan syiar Islam dalam pasal 2, dinyatakan memiliki tujuan:

  • Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat. 
  • Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya 
  • Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami. 
Sementara dalam pasal 3, fungsinya ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.

Pasal 4-5 menetapkan kewajiban memelihara akidah Islam, larangan menyebarkan paham atau aliran sesat, serta larangan keluar dari akidah Islam (murtad) dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam. 


Pasal 6 menyerahkan kewenangan penetapan aliran/ paham sesat kepada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan paham atau aliran sesat dalam qanun ini tidak didefinisikan secara jelas. Dalam penjelasan pasal 2, paham atau aliran sesat didefinisikan sebagai pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan kepada Alquran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atau kedua sumber tersebut.


Kewajiban menjalankan ibadah dalam qanun ini meliputi shalat fardlu, shalat jumat, dan puasa (bab IV). Cakupan ibadah yang disebutkan itu jelas sangat terbatas. Demikian pula, dalam sanksi hukumnya.


Sebagaimana peraturan daerah No. 5/2000, qanun ini juga menetapkan ketentuan tentang busana islami (Pasal 13) dijelaskan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Sementara hukuman untuk yang melanggarnya adalah pidana dengan hukuman tazir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah, tanpa menyinggung bentuk hukumannya. Misalnya penjara atau cambuk.


Wilayatul Hisbah, dalam qanun ini (pasal 1 ayat 11), dinyatakan sebagai badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam. Badan ini dibentuk oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ kota, serta dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah lingkungan lainnya (pasal 14 ayat 1-2).

  • Qanun No. 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun tentang larangan minuman khamar dan sejenisnya ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003. Di dalam qanun ini, yang dimaksudkan dengan khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir (pasal 1 ayat 20).
  • Qanun No. 13/2003 Tentang Maisir (Perjudian)
Qanun tentang maisir (perjudian) ini disahkan pada 15 Juli 2003, dan diundangkan pada 16 Juli 2003. Dalam qanun ini perjudian atau maisir didefinisikan sebagai kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran (pasal 1 ayat 20).
  • Qanun No. 14 / 2003 Tentang Khalwat (Mesum)
Dalam qanun ini, khalwat/ mesum didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan (Pasal 1 ayat 20). Cakupan larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina (pasal 2). Qanun ini disahkan pada 15 Juli 2003 dan diundangkan pada 16 Juli pada tahun yang sama.

C. Hubungan Antara Perkembangan Pariwisata dengan Penerapan syariat Islam di Aceh
Agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat (Mu’in, 1986:121). Agama sebagai yang dipahami secara umum adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Nasution, 1979: 10). 

Islam adalah agama wahyu yang disebut al-Din. Ia mencakup tatanan semua kehidupan manusia melingkupi aspek akidah (teologi), ibadah (ritual), akhlak (etika) dan muámalah (sosio-kultural). Di dalam ungkapan lebih sederhana, ketercakupan itu merupakan pengaturan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. Para ulama klasik menyebut Islam itu adalah aqidah dan mu’amalah. Mu’amalah di sini mereka rinci menjadi mu’amalah yang berhubungan dengan Tuhan dan muámalah yang berhubungan dengan manusia. Pada umumnya mereka cendrung memahami ajaran Islam melalui pendekatan nash (tekstual) atau doktriner.

Belakangan, ulama khalaf (belakangan) dan mutaakhir (kontemporer) seperti Syaikh Mahmud Syaltut menyebut Islam itu adalah akidah dan syariah. Syariah dibaginya menjadi ibadah, akhlak dan muámalah. Sementara Fazlur Rahman menyebut pokok ajaran Islam ada tiga: percaya kepada keesaan Tuhan, pembentukan masyarakat yang adil dan kepercayaan hidup setelah mati.

Untuk lebih memudahkan pemahaman para ulama yang masyhur merinci lagi Islam sebagai Aqidah, Ibadah, Akhlak dan mu’amalah. Di dalam akidah dan ibadah, pandangan agama dibimbing oleh satu kaidah: jangan lakukan sesuatu kecuali yang disuruh dengan nash dan dalil yang kuat. Didalam akhlak dan muámalah berlaku kaidah: lakukan sesuatu kecuali yang dilarang. 

Dari struktur pendekatan tadi, nampaknya risalah Islam pada dasarnya membahas masalah hubungan terhadap tiga pokok : Tuhan, alam , dan manusia atau teologi, kosmologi dan antropologi (Mukti Ali, 1989:42).

Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk berpergian atau melakukan perjalanan khusus bersang-senang disebut rihlah. Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung Al-Qurán sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas.
Sementara itu di dalam kaitan dengan nilai-nilai ideal dari kepariwisataan bagi Islam adalah bagaimana ummatnya mengambil i’tibar atau pelajaran dari hasil pengamatan dalam perjalanan yang dilakukan sebagai diisyaratkan al-Qurán (QS 6 :11). Menurut mufassir al-Maraghi, perjalanan manusia dengan maksud dan keperluan tertentu di permukaan bumi harus diiringi dengan keharusan untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari peninggalan dan peradaban bangsa-bangsa terdahulu seperti yang dinyatakan pada ayat tadi dan pada Surah Fathir (35 : 44). 

Selanjutnya Al-Qur’an menggambarkan pula, apabila manusia itu mau memperhatikan, mereka akan dapat melihat dan mengetahui bahwa dalam alam sekelilingnya, malah pada diri mereka sendiri (jasmaniah dan ruhaniah) berlaku peraturan-peraturan, sunnatullah (M. Natsir, 1969 :4). Pada bagian lain Al-Qur ‘an menekankan perlunya jaminan keamanan suatu daerah atau negara serta fasilitas yang tersedia bagi para wisatawan. Hal ini ditekankan oleh mufassir al-Qurthubi ketika memahami QS Saba’ (34: 18).

pariwisata ternyata juga berperanan di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness) manusia. Bahkan wisata di dalam Islam seperti telah disiinggung di atas merupakan bagian tak terpisahkan dengan ibadah seperti ibadah haji yang melakukan prosesi dan safari suci Makkah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan kembali ke Makkah. Ziarah ke kota dan Masjid Nabawi di Madinah dan tempat-tempat bersejarah lainnya di sekitar Mekkah dan Madinah. Bahkan sekarang berkembang wisata ibadah umrah plus mengunjungi berbagai tempat bersejarah di negara-negara Timur Tengah. Tentu saja wisata agama ini bukan hanya milik Islam, bahkan hampir semua agama memiliki wisata jenis ini dengan segala variasinya menurut kepercayaan dan sosial budaya mereka. 

Pariwisata dengan demikian mempunyai peranan yang amat luas di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi wisata yang menyimpang dari norma ideal haruslah disingkirkan seperti wisata yang hanya menekan kepada sun, sand, sea, smile and sex. Wisata hiburan yang mengarah kepada eksplorasi dan eksploitasi seks dan wanita dan pria yang mengutamakan kesenangan fisik yang rendah bersifat hedonistik dan erotik untuk kepuasan lahiriah dan naluriah hewaniah, inilah yang menjadi malapetaka. Bila jenis wisata ini yang berkembang, maka pada ujungnya akan membuahkan penyalahgunaan obat terlarang dan bahkan menjadi sarang berkembangnya HIV dan Aids, bahkan sars. 

Oleh karena itu, pandangan agama akan positif kalau dunia kepariwisataan itu dijalankan dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Agama akan berpandangan negatif terhadap wisata walaupun tujuan baik untuk menyenangkan manusia dan masyarakat tetapi dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang dari kemauan syariat, maka hal itu ditolak.
Wisata yang menyimpang pasti bertentangan dengan agama. Terhadap hal ini, agama apa pun mengharamkannya. Lebih dari itu, pariwisata dapat pula menjadi media penumbuhan kesadaran, keimanan dan ketaqwaan serta mencapai nilai-nilai kehidupan yang luhur dan tinggi. Untuk maksud yang terakhir ini, maka diperlukan perhatian yang proporsional dalam hubungan agama dan kepariwisataan.

Artinya, Aceh sebagai salah satu daerah yang menerapkan syariat Islam harus tidak setengah- setengah dalam menjalankan dan mengimplementasikan syariat di dalam kehidupan masyarakatnya sehari- hari. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa syariat tidak menjadi penghalang terhadap perkembangan pariwisata, namun syariat akan menentang jika pelaksanaan dan tujuannya bertentangan dengan kepentingan syariat. 

Seperti kata bapak Drs. Syamsul Bardi, M.Si, di dalam ruang kuliah bahwa syariat sama sekali tidak menjadi penghambat perkembangan pariwisata. Namun yang harus diperhatikan dan dipertahankan adalah karakteristik dan jati diri bangsa serta jangan sampai tergerus oleh budaya-budaya luar yang dibawa oleh para tourist atau wisatawan. Dengan adanya harmonisasi antara syariat dan wisata serta mental spiritual dan jati diri rakyat Aceh yang kuat, maka pariwisata Aceh akan berkembang mengingat potensi alam dan budaya Aceh sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar